Kamis, 23 Januari 2014

Profil Young Changemakers 2013 - Part 2

Ahmad Fathul Azis, 23 tahun (Malang)
Q! Course: Course on Sexuality, Gender and Health Rights
Self-stigma di kelompok Gay dan LSL (Lelaki yang berhubungan Sex dengan Lelaki lainnya) masih banyak terjadi. Di kota Malang, selain menutup diri dan memiliki kebencian terhadap diri mereka sendiri, mereka juga mengisolasi diri sendiri terhadap masyarakat dan bahkan menutup akses terhadap informasi yang terkait dengan dirinya seperti, HIV & AIDS, Test VCT dan juga konseling. Padahal di kota Malang tersebut, jumlah Gay dan LSL cukup besar, yaitu sebanyak 6.700 orang (IGAMA, 2012). Tingkat prevalensi HIV/AIDS pada komunitas LSL di Malang pun cukup tinggi yaitu sebesar 12,4% sehingga kelompok ini rentan tertular HIV/AIDS.
Untuk merangkul dan memfasilitasi Gay dan LSL, Februari 2012 lalu, Azis mengembangkan kegiatan bertajuk Q! Course: Course on Sexuality, Gender and Health Rights. Kegiatan ini bertujuan memberikan peningkatan kapasitas dan ruang berekspresi serta komunikasi tentang isu HIV & AIDS sekaligus menghilangkan self-stigma di kalangan GWL (Gay, Waria, LSL) di Malang. Inistiatf Azis ini kemudian dijadikan salah satu program rutin Yayasan IGAMA yang bergerak di bidang kesehatan reproduksi dan bekerjasama dengan KPA Kota Malang dan Kojigema Institute.

Kegiatan ini dilakukan dengan 6-7 rangkaian kegiatan workshop dan telah merangkul 70 remaja GWL, 25 diantaranya adalah peserta yang aktif dan menjadi peer educator dan fasilitator di mobile clinic.  Dari hasil Semi Annual Survey 2013, tingkat pengetahuan komprehensif komunitas cukup tinggi yakni sebanyak 63,6%. Tingkat pemakaian kondom dengan bukan pasangan dalam sebulan terakhir pada responden juga cukup tinggi yakni 41,8%. Selain itu, kemandirian komunitas untuk membeli kondom sendiri juga relatif cukup tinggi yakni 65 %. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa kegiatan yang telah dilakukan Yayasan IGAMA salah satunya kegiatan Multimedia Campaign. Mimpi besar Azis adalah dalam 2-3 tahun ke depan, Peer Educator dan Q!Course dapat menjangkau minimal 70% dari jumlah keseluruhan remaja GWL di Malang.

Dwitya Sobat, 25 tahun (Yogyakarta)
Tahu dan Peduli Tentang TORCH – Komunitas Peduli TORCH
Bersama dengan empat sahabatnya di komunitas lingkar pena – kelompok penulis muda, Dwitya Sobat mengembangkan sebuah komunitas peduli TORCH. Diawali dengan salah satu teman mereka yang mengalami celebral palsy (kerusakan otak) atau CMV – salah satu dari empat penyakit dalam kelompok Torch, membuat dia merasa perlu sebuah komunitas yang tak hanya mendukung para penderita tapi juga memberikan informasi pencegahan awal terhadap penyakit Torch ini. Komunitas itu awalnya bernama Torch Care Youth Community di tahun 2009. Torch adalah kumpulan dari empat penyakit yang memiliki gejala sama meski dengan penyebab yang berbeda yaitu infeksi toxoplasmosis, rubella, cmv dan herpes. Torch menurut dia adalah the silent killer, tak banyak yang tahu dan peduli tapi dampaknya luar biasa menyebabkan kematian dan keguguran pada ibu hamil dan cacat pada bayi.
Di awal gerakan, Komunitas Peduli Torch berhasil merekrut secara tertutup 30 sukarelawan lintas bidang studi. Dan di tahun 2011 sempat mengembangkan kegiatan tes gratis TORCH dan survey tingkat kepedulian masyarakat terhadap penyakit ini. Terkendala masalah dana, kegiatan fisik terhenti dan beralih pada kampanye di sosial media pada 2012. Di awal 2013, jumlah relawan yang tergabung tinggal 6 orang, dua di antaranya adalah inisiator awal dan kembali menggeliat. Mereka bekerjasama dengan kepala desa Mungkit Magelang dan Puskesmas Magelang terus mensosialisasikan bahaya Torch dan mengajak hidup sehat di pojok Torch yang ada di puskesmas. Berkat koneksi ibu Dwitya yang merupakan kader Posyandu di desa Mungkit, gerakan mereka terus berjalan dan meluas melalui arisan-arisan warga.
Komunitas Peduli TORCH tidak bergerak pada pengobatan medis tapi lebih pada sosialisasi untuk hidup sehat karena dalam penyebab torch seperti virus, parasit dan bakteri ada dalam kehidupan sehari hari. Di antaranya mereka mensosialisasikan agar cuci tangan sehabis berkebun, sebelum makan dan memasak daging hingga matang. Sementara untuk pengadaan tes Torch diperlukan dana yang sangat besar, 1 jenis Torch memerlukan 2x tes@Rp 800 ribu rupiah x 4 = Rp 6,4 juta rupiah. Karena itulah Dwitya menegaskan pencegahan untuk meminimalisir terpapar Torch jauh lebih penting daripada mengobati. 

Ainum Jhariah Hidayah, 22 tahun (Makasar)
Edukasi Kesehatan Reproduksi Remaja Melalui Peningkatan Kapasitas dan Pembinaan Fasilitator Muda
Data kasus kumulatif HIV dan AIDS provinsi Sulawesi Selatan tahun 2005–Maret 2012 tercatat HIV 3.638 kasus dan AIDS 1.777 kasus. Jumlah total ODHA 5.415 kasus. Tahun 2012, jumlah total infeksi baru (new infection) 259 kasus. (KPA Kota Makassar, 2012). Disamping itu, masalah perilaku kesehatan remaja dan angka kejadian kehamilan usia remaja di kota Makassar cukup tinggi, yaitu 82,4% terjadi pada umur 15-19 tahun.
Realita inilah yang membuat Ainum sadar tentang pentingnya pengetahuan kesehatan reproduksi remaja. Dengan dukungan dari kakak kelasnya, Ainum berinisiatif mengadakan kegiatan roadshow pelatihan dan penyuluhan ke sekolah tingkat menengah atas di Makassar. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi remaja dan HIV-AIDS. Pada 2012, Ainum bersama 3 orang temannya membentuk tim kecil dan mengadakan pelatihan untuk mempersiapkan fasiliator yang akan memberikan sosialisasi ke sekolah tingkat menengah atas di Makasar. Target awal dari kegiatan ini adalah 6 sekolah menengah atas (SMA) di Makassar. 
Selama berjalan dari 2012, kegiatan Ainum telah melibatkan 20 orang volunteer aktif dan 3 orang tim inti. Dari 6 sekolah yang ditargetkan, terdapat 80 peserta yang terlibat aktif serta satu kelompok Palang Merah Remaja (PMR). Rencana ke depan, dari kegiatan penyuluhan yang dilakukan ke sekolah-sekolah, akan ada peer educator yang akan direkrut dari peserta penyuluhan. 

La Nane, 24 tahun (Wakatobi/Makasar)
Peningkatan Pemanfaatan dan Potensi Bulu Babi sebagai Sumber Pangan Alternatif Masyarakat Makasar dan Wakatobi melalui Inovasi Teknologi PerontokDuri
Bagi masyarakat Wakatobi, yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan, bulu babi adalah sumber pangan yang memiliki nilai gizi tinggi, terutama protein dan populasinya melimpah. Sayangnya, bulu babi cukup sulit diolah karena memiliki banyak duri, sementara mereka hanya menggunakan keranjang dan pisau saja untuk menangkap dan menghilangkan bulunya. Dengan alat sederhana ini, produktivitas mereka rendah. Sementara itu di Makasar, bulu babi masih dianggap sebagai hama yang menakutkan.
Melihat kondisi ini, La Nane, menginisiasi komunitas Forum Kajian Pesisir (FKP) yang memiliki program keilmuan, kajian, dan pemberdayaan masyarakat. Nane memiliki ide untuk membuat alat perontok bulu babi yang kemudian dinamai Uritech. Awalnya dia mengajarkan cara menggunakan alat ini kepada 25-30 orang nelayan Wakatobi mampu berbahasa Indonesia dengan baik. Di Makasar, Nane lebih fokus memberikan kampanye edukasi untuk mengubah paradigma “ketakutan terhadap bulu babi”. Untuk melakukannya Nane bekerja sama dengan Sekolah Bahari dan Universitas Hasanuddin. Sasarannya adalah anak-anak usia 8-12 tahun dan sampai saat ini sudah melibatkan 50 anak.
Sejak Uritech diperkenalkan 2012 lalu, sudah mengalami penyederhaan teknologi yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat agar sumber protein baru. Berkat Uritech dan program pemberdayaan masyarakat FKP, kini para nelayan di Wakatobi mampu menghasilkan 2-3 juta per bulannya. Produksi bulu babi juga meningkat. Mereka mampu memenuhi permintaan pasar yang selalu bertambah. Untuk mensosialisasikan teknologi Uritech dan potensi Bulu Babi sebagai sumber pangan, Nane bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui program Diversifikasi Pangan.

Yosef Rabindanata Nugraha, 23 tahun (Bogor)
Pemanfaatan Media Kreatif Untuk Meningkatkan Kesadaran dan Mengurangi Bahaya Rokok Pada Remaja
Yosef adalah mantan perokok sejak 4 empat tahun lalu. Dia mulai merokok sewaktu kelas 1 SMP sampai kuliah semester 1, artinya sudah 7 tahun. Setiap hari minimal menghabiskan setengah bungkus rokok. Ketika kuliah semester 1 itulah dia kemudian menyadari betapa melelahkannya kebiasan merokok. Selain dia sadar efeknya pada kesehatan tapi sebagai anak kuliahan, uang jajannya yang tidak seberapa itu habis hanya untuk rokok.
Keberhasilan Yosef menghentikan kebiasaan merokok ini kemudian mengilhami berdirinya Komunitas Indonesia Bebas Rokok, November 2012 lalu. Komunitas ini menjadi wadah berbagi pengalaman, cara atau tips bagaimana menghentikan kebiasaan merokok sekaligus bertukar informasi tentang bahaya rokok. Yosef menyalurkannya dalam website dan creative campaign melalui sosial media. Awalnya dia hanya mengajak sahabat perempuannya yang berlatar belakang mahasiswa design. Bersama mereka membuat akun youtube, facebook dan website. Pesan kreatif dibuat dengan sasaran anak muda. Mereka mengajak anak muda menjadi Smoke Free Agents – agen penyebar informasi mengajak anak muda bebas rokok – yang kini berjumlah 230 orang di seluruh Indonesia. Tidak hanya berkampanye melalui sosial media, Yosef juga sekarang berkeliling melakukan penyuluhan ke daerah-daerah difasiliti oleh anggota Smoke Free Agent dan organisasi yang bergerak di bidang yang sama seperti Komisi Nasional Pengendalian Tembakau dan Komunitas Dokter Muda.
Dalam rancangan kerja ke depan, Yosef bermaksud mendirikan komunitas Indonesia Bebas Rokok di daerah-daerah lain yang dikelola oleh Smoke Free Agent yang ada di lokasi tersebut. Seiring dengan berkembangnya komunitas yang dia dirikan, jumlah pengurus inti sekarang menjadi 10 orang dengan latar belakang berbeda termasuk mereka yang berasal dari bidang kesehatan dan gizi. Karena sifat keanggotaan komunitas adalah sukarela, maka setiap anggota bisa memberikan bantuan sesuai minat dan kemampuan mereka. Termasuk jika ada anggota yang masih merokok, menurut dia ini justru kesempatan bagus untuk si perokok belajar langsung dari teman-teman anggota yang sudah berhenti. Syaratnya hanya satu, tidak boleh merokok saat acara komunitas.

Leon Alvinda Putra, 15 tahun (Sukoharjo, Jawa Tengah)
Peningkatan kualitas sanitasi dan lingkungan sekolah melalui Tim Khusus Peduli Sanitasi leonputra0@gmail.com |
Berawal dari buruknya kondisi lingkungan di SMP Negeri 1 Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, serta tingginya pencemaran yang disebabkan oleh kawasan industri yang berdekatan dengan lokasi sekolah. Kondisi ini membuat para siswa tidak semangat belajar.
Leon menjawab keresahan atas buruknya sanitasi sekolah akibat pencemaran dari kawasan industry di sekitar sekolahnya dengan melakukan membentuk Tim Khusus Peduli Sanitasi atau TKPS. Kegiatan yang dilakukan oleh Leon dan tim adalah perawatan saluran drainase, membantu merawat tanaman yang ada di sekolah dan lingkungan sekitar, sosialisasi dan penyuluhan tentang lingkungan dan pelatihan pengolahan sampah di desa Sukoharjo. Untuk pengelolaan sampah organic, tim TKPS membangun Rumah Kompos. Leon dan timnya juga mengelola air limbah dengan membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah.
Kegiatan TKPS dilakukan selama hampir 6 bulan dan berhasil melibatkan sekitar 52 relawan yang berasal dari beberapa sekolah yang berbeda di wilayah Sukoharjo, Jawa Tengah. Dampaknya terasa dengan lingkungan sekolah yang menjadi bersih dan asri serta aktivitas belajar jadi lebih efektif dan nyaman. Sementara warga sekitar sekolah bisa mengambil manfaat ekonomis dari pengelolaan sampah nonorganik. Sosialisasi yang dilakukan oleh Leon menyentuh wilayah di luar Sukoharjo karena mengunakan sosial media yaitu twitter dan blog untuk mengajak lebih banyak orang peduli sanitasi.

Anwari, 22 tahun (Yogyakarta)
Penyelamatan Sungai Gajah Wong Melalui Kegiatan Komunitas
Sungai Gajah Wong Yogyakarta adalah anak sungai dari sungai Opak yang melewati 3 kabupaten dan merupakan salah satu sumber air bersih bagi propinsi DIY. Sayangnya bantaran kali dekat  Universitas Islam Negeri Yogyakarta ini ditempati sekitar 30 keluarga yang bermatapencaharian warung kaki lima. Mereka membuang sampah organic dan non organic sekitar 2-3 kilogram perhari perkeluarga. Selain juga memanfaatkan sungai sebagai MCK umum.  Mereka sangat berpotensi mengalami gangguan kesehatan karena terpapar pencemaran air akibat perilaku yang tidak sehat dan ramah lingkungan ini.
Gadjah Wong community merupakan proyek sosial yang digagas oleh kandidat untuk menjaga keberlangsungan Sungai Gadjah Wong di masa mendatang. Projek dimulai pada bulan Desember 2012 diawali dengan kegiatan bersih sungai bersama warga kampung Pedak Baru Banguntapan Bantul dan Gowok Depok Sleman Yogyakarta. Awal kegiatan, proyek ini fokus pada pembersihan sunga Gadjah Wong spot timur UIN Yogyakarta dari sampah dan pengelolaan sampah melalui konsep Reduce, Reuse dan Recycle, juga mendirikan bank sampah berbasis kampong. Selain pengelolaan sampah, Tim Gadjah Wong juga melalukan sosialisasi kesehatan tentang penggunaan seminimal mungkin air sungai yang sudah tercemar limbah manusia. Mereka juga
Gadjah Wong Community terdiri dari 40 volunteer dari mahasiswa dan satu orang anggota keluarga penghuni bantaran kali. Dua minggu sekali mereka melakukan kegiatan bersama membersihkan kali dan sampahnya diserahkan pada Dinas Kebersihan. Sedangkan dua bulan sekali mereka membuka rekrutmen sukarelawan baru dari mahasiswa dan anggota Water Forum. Sosialisasi menyebar ke perbatasan Kabupaten Sleman dan Bantul. Target berikutnya mereka akan membangun Bank Sampah di setiap RT untuk meminalisir pembuangan sampah ke Sungai Gajdah Wong.

Andy Suryansah, 24 tahun (Surabaya)
Inovasi Pembasmi Nyamuk Demam Berdarah
Dua tahun yang lalu (2011), hampir 50% jumlah siswa TK di dekat rumah Andy di Dupak Rukun, Surabaya terjangkit demam berdarah. Kondisi lingkungan yang buruk dan juga mendukung berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti, nyamuk pembawa virus Demam Berdarah Dengue (DBD), di kawasan tersebut. Secara umum hampir seluruh daerah di kota Surabaya rawan menjadi endemik nyamuk tersebut.
Melihat kondisi ini, Andy kemudian mencari informasi bagaimana caranya membasmi nyamuk tersebut dengan cara memutus rantai kehidupannya. Sasarannya adalah nyamuk betina karena nyamuk betinalah yang menggigit manusia dan membawa virus DBD. Namun tidak banyak data yang Andy temukan untuk mengundang nyamuk tersebut datang. Dengan dibantu oleh seorang temannya, Andy melakukan riset kecil untuk mempelajari karakter nyamuk tersebut. Andy yang berlatar belakang teknik komputer ini kemudian mengajak 4 orang temannya lagi satu kampus untuk membuat perangkat pembasmi nyamuk berbahan dasar lampu UV yang kemudian dinamakan Falle. Alat ini merupakan perpaduan teknologi UV dan teknologi audiosonik yang efektif membasmi nyamuk dengan cara menarik perhatian nyamuk untuk mendatanginya. Awal riset dan percobaan Falle ini dilakukan di tempat kost Andy dan teman-temannya. Proses produksinya juga melibatkan pengrajin sangkar burung dengan bantuan beberapa mahasiswa serta anak dari Sekolah Menengah Kejuruan.
Setelah 1,5 tahun melakukan riset produksi Falle, akhirnya pada bulan Februari 2013 lalu Andy melakukan sosialisasi ke masyarakat. Andy dan tim membagikan 25 unit Falle secara gratis kepada warga yang tinggal di daerah Dupak Rukun, sekaligus memberikan edukasi tentang penyakit DBD, gejala dan cara pencegahannya, serta gaya hidup bersih dan sehat. Menurut testimoni warga yang telah memakai Falle, nyamuk di sekitar tempat tinggal mereka mulai berkurang. Selain itu Andy dan tim juga melakukan sosialisasi melalui media sosial sehingga membuat semakin banyak orang yang mengetahui tentang Falle. 

Aditya Rahmat Gunawan, 20 tahun (Bandung)
Futsal Sebagai Media Kampanye Hidup Sehat Kepada Anak-Anak
Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang Jawa Barat dikepung oleh empat kampus yaitu Universitas Padjadjaran (UNPAD), Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Institut Manajemen koperasi Indonesia (IKOPIN) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Keberadaan kampus-kampus ini mengubah lingkungan di Jatinangor yang kini dipadati oleh kos-kosan mahasiswa hingga ke daerah pemukiman penduduk. Anak-anak usia Sekolah Dasar (usia 6-13 tahun) pada kenyataannya semakin kehilangan ruang bermain karena tak ada lagi tanah lapang yang kini beralih fungsi menjadi kos. Mereka terganggu tumbuh kembang motoriknya karena tak ada ruang bergerak. Anak-anak ini rentan terpengaruh perilaku orang dewasa dalam pergaulan sehari-hari mereka dengan para mahasiswa seperti kebiasaan merokok.
Sebelum melakukan kegiatannya, Aditya melakukan survey pada anak-anak yang biasa berdagang di kampus sampai ke rumah mereka dan mencatat permasalahan sosial yang terjadi. Lalu, Goal Futsal Academy (GFA) digagas oleh Aditya dan kawan-kawan untuk menjawab kebutuhan anak-anak Jatinangor akan ruang bermain untuk tumbuh kembang psikomotorik mereka dan edukasi diberikan untuk membangun karakter. Sebagai seorang pemain futsal, Aditya percaya olahraga membuat pikiran lebih tenang dan terbuka selain menyehatkan badan, menjauhkan diri dari hal buruk yang merusak kesehatan seperti merokok.
Aditya  membagi targetnya dalam tiga kelompok, yaitu anak-anak panti asuhan, anak-anak yang berdagang sore hari di sekitar kampus dan anak-anak tidak mampu yang berada di sekitar Jatinangor. Kegiatan ini baru berjalan empat bulan dan sudah memiliki anggota tim futsal anak-anak berjumlah 30 orang. Setiap minggu mereka berlatih di lapangan futsal milik FISIP UNPAD lalu setelah latihan mereka akan mendapatkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang dimaksud lebih pada membangun kepercayaan diri anak-anak, melihat masa depan lebih positif dan menghindari perilaku buruk yang bisa merusak kesehatan fisik maupun psikis. Pendidikan karakter ini dilakuan dalam bentuk permainan-permainan/ games.
Salah satu contoh misalnya ada anak yang semula pemalu karena berasal dari keluarga tak mampu dan berjualan, setelah mengikuti kegiatan di GFA menjadi lebih berani dan percaya diri. Aditya percaya akan lebih banyak lagi anak-anak yang mengalami perubahan positif seperti itu.
Aditya ingin Goal Futsal Academy berkelanjutan baik secara kepengurusan maupun finansial. Untuk itu dia akan memperlebar usia peserta futsal seperti siswa SMA yang akan dikenakan iuran rutin. Keuntungan yang diperoleh digunakan sebagai subsidi silang bagi anak-anak yang tidak mampu. Sejauh ini GFA memiliki 2-5 relawan yang datang membantu setiap latihan. Aditya juga berencana untuk membuat turnamen futsal kategori dibawah 13 tahun sebagai tempat aktualisasi diri. Aditya jugamembangun relasi dengan Indonesial Futsal League sehingga anak-anak punya kesempatan untuk bergabung dengan tim yang lebih besar.
Terlepas dari keinginan memperbesar jangkauan GFA, Aditya mengatakan futsal adalah alternatif solusi untuk medorong tumbuh kembang fisik anak. Lebih dari itu juga membangun psikologis anak-anak terutama dari kalangan tidak mampu. 

Dinda Putri, 23 tahun (Surabaya)
Pemanfaatan Bahasa dan Budaya Madura dalam Kampanye Hidup Sehat di Sekolah Dasar
Di Sekolah Dasar  Separah 2 terletak di Desa Galis, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Madura. Letaknya terpencil di lahan tanah berkapur. Masyarakat punya kebiasaan buruk tidak mandi, gosok gigi dan buang air besar di sembarang tempat, termasuk juga dilakukan oleh anak-anak sekolah. Tidak heran daerah ini pernah KLB diare dan demam berdarah. Masyarakat bahkan takut bertemu dengan tenaga medis dari puskesmas. Di kampung ini juga tidak ada bidan desa.
Dinda Putri punya pengalaman sukses mengurangi masalah gizi buruk di Kota Kediri 2010 – 2011 lalu dengan mengintervensi kader posyandu untuk berani memberikan penyuluhan tentang pentingnya gizi dan asi. Tapi kondisi di Bangkalan jauh berbeda karena masyarakatnya takut pada tenaga medis dan tidak ada bidan desa, pendekatan harus diubah. Dinda mendekati pihak sekolah dan menjadikan anak-anak sebagai target sasaran kegiatan perbaikan perilaku hidup bersih dan sehat PHBS seperti mandi, sikat gigi dan buang air besar di toilet.
Pola komunikasi penyuluhan diubah mengikuti kondisi yang ada seperti menggunakan bahasa Madura supaya lebih mudah anak-anak mudah menerima informasi. Selain itu dilakukan dalam bentuk permainan dan lagu yang juga diterjemahkan dalam bahasa Madura. Melalui anak-anak, Dinda percaya informasi tentang kebersihan diri juga akan sampai kepada keluarga mereka di rumah.
Kegiatan ini juga didukung oleh relawan dari Fakultas Kesehatan Gigi, Farmasi dan Kedokteran yang menyediakan alat peraga sebagai bahan interaksi saat penyuluhan di sekolah. Selain juga dilengkapi dengan poster-poster menarik tentang bagaimana merawat kesehatan diri.
Awalnya penyuluhan dilakukan di kelas 4 – 6 tapi sekarang menjadi seluruh kelas dan yang menarik kakak kelas enam menjadi kader penyuluh bagi adik-adik kelasnya. Kegiatan ini didukung oleh pihak sekolah dan Dinda sudah mengusulkan agar materi penyuluhan PHBS mereka diadopsi oleh pihak sekolah. Nantinya guru kesehatan jasmani yang menjadi menjalankan kurikulum pengetahuan kesehatan dasar. 
Selain menjadikan kegiatan ini sebagai kurikulum di sekolah, Dinda juga sedang mempersiapkan UKS – unit kesehatan sekolah yang akan dikelola oleh anak kelas 4 dan 5. Sekolah ini dia rencanakan menjadi pilot project dengan harapan bisa direplikasi di tempat lain. Sementara hambatan yang masih dihadapi Dinda adalah kerjasama dengan dinas kesehatan yang belum dimulainya sehingga pendekatan kepada pihak puskesmas belum dilakukan. Kalau tembak ke masyarakat, pasti susah. Ketika yang tua susah diubah, mari tembak anak-anaknya untuk harapannya bisa kasih tahu keluarganya. Ada kondisi kendala bahasa supaya bisa dimengerti. Lalu minta kerjasama dengan sekolah. Lalu ada kendala financial, beli sabun, pasta gigi, sikat gigi.

M. Reza Pahlevi, 21 tahun (Banjarmasin)
Peningkatan Pengetahuan Remaja Terhadap Penyakit Tidak Menular Melalui Sekolah Kesehatan
Remaja sangat rentan melakukan pola hidup yang tidak sehat berkaitan dengan makanan dan kebiasan merokok. Kebiasaan buruk ini meningkatkan resiko terkena penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit paru obstruktif kronik dan diabetes seiring dengan usia. Penyakit ini masuk dalam kelompok Non Communicable Disease yang dalam catatan WHO dalam 1 detik 1 orang meninggal. Dalam 30 juta penderita NCD meninggal tercatat 9 juta diantara adalah remaja. Masih menurut catatan WHO, cara paling efektif untuk mencegah NCD adalah dengan informasi sejak dini kepada remaja tentang bahaya NCD. Sedangkan di Indonesia, tidak ada dalam kurikulum sekolah yang memasukkan informasi tentang NCD ini.
Dalam pengalaman pribadinya, Reza yang sering membantu pasien stroke dan serangan jantung merasa khawatir karena masyarakat tidak segera membawa penderita ke rumah sakit melainkan lari pada pengobatan tradisional seperti tukang urut untuk penderita stroke. Reza merasa perlu untuk mengubah mindset masyarakat terhadap penyakit ini dan melakukan pencegahan sejak diri melalui edukasi kepada remaja usia SMA.
Perhatian Reza terhadap isu ini sudah berlangsung sejak lama dan mulai dituangkan dalam program Health School yang persiapannya sudah dikerjakan sejak Juni 2013. Dia tidak langsung terjun ke sekolah untuk program Health Schoolnya tapi memulainya dengan mengadakan olimpiade biologi untuk tingkat SMA untuk mengumpulkan respon dan kontak pada September. Di sela lomba, dia dan temantemannya mengadakan workshop seputar NCD dan mendapatkan respon positif dari siswa maupun pihak sekolah. Karena itulah dia merasa tambah yakin bahwa kegiatannya sangat penting dan bisa berjalan. Selain untuk siswa SMA, informasi NCD juga dia berikan kepada rekan-rekan di kampus, mengajak mahasiswa berhenti merokok dan mengubah perilaku hidup menjadi lebih sehat.
Selesai olimpiade, tim Health School bergabung dengan kegiatan open house fakultas kedokteran Lambung Mangkurat pada Oktober untuk sosialisasi kegiatan mereka dan dihadiri oleh 1000 orang. Kegiatan puncak Health School sebenarnya baru akan dimulai 22 December sebagai kelas resmi pertama yang diadakan di kampus dan terdaftar 80 peserta dari satu sekolah SMA. Health School diadakan setiap minggu dengan sekolah berbeda dengan biaya pendaftaran 15ribu rupiah yang digunakan untuk foto copy materi,sertifikat dan makan siang.
Health school bukan bangunan fisik tapi program edukasi untuk NCD yang terangkum dalam bentuk modul dan kurikulum yang diharapkan bisa diadaptasi oleh pihak sekolah dan peserta workshop menjadi perpanjangan tangan informasi kepada rekan sebayanya dan keluarga mereka. Sejauh ini Health School sudah memiliki jadwal workshop dengan SMA-SMA di Banjarmasin yang siap menerima informasi tentang NCD. Reza sedang menyiapkan presentasi kegiatan Health School yang akan disampaikan dalam Musyarawarah Nasional Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia January nanti. Dia berharap kegiatan 4 minggu pertama Health School bisa menjadi inspirasi baru dan diadaptasi oleh Senat Kedokteran di seluruh Indonesia sebagai bagian dari program pengabdian masyarakat. 

Maria Listuhayu Prajna Pratita, 24 tahun (Yogyakarta)
Belajar Kesehatan Reproduksi dan Isu Sosial Lewat Kursus Bahasa Inggris Eager Beaver
Remaja berkembang tanpa mengetahui banyak informasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi, karena dua masalah ini tabu dibicarakan bahkan dalam keluarga. Masalah lalu bertambah manakala remaja menemukan dirinya berbeda orientasi seksual dan kesulitan untuk mengakui secara pribadi bahkan di depan keluarga. Mereka berkembang tanpa bekal cukup tentang otoritas tubuhnya, keberanian mengakui diri berbeda dan bagaimana kesehatan reproduksi terjaga.
Maria yang lebih akrab disapa Ema merasa perlu ada ruang yang nyaman untuk remaja berekspresi  dan mengembangkan diri. Sementara itu mereka tetap mendapatkan pengetahuan yang cukup tentang seksualitas, LGBT, keadilan gender dan kesehatan reproduksi termasuk informasi tentang HIV/Aids. Emma memadukan kegiatan di atas dengan kemampuannya berbahasa Inggris dalam sebuah kegiatan Eager Beaver di Kampung Cepit Baru, Yogyakarta sejak Juli 2013 lalu. Dari luar ini adalah kegiatan kursus bahasa Inggris biasa, tapi yang membedakannya adalah materi yang diberikannya lebih dari sekedar belajar bahasa Inggris.
Eager Beaver memiliki 4 kegiatan, yaitu (1) English Course – belajar Bahasa Inggris dengan materi-materi terkait anak muda dan HAM untuk mengembangkan wawasan. Sasarannya pemuda 18-25 tahun dan dosen/aktivis sosial senior yang banyak berinteraksi dengan pemuda; (2) English Club - ruang terbuka bagi anak muda yang ingin mempresentasikan atau mendiskusikan apa saja. Ada yang bicara tentang body image, kesehatan reproduksi, budaya,bedah buku, hingga pemutaran dan diskusi film perdamaian; (3) English for Kids - kelas Bahasa Inggris gratis bagi anak-anak kampung Cepit Baru, usia 3-15 tahun. Melalui kelas ini, anak-anak bisa belajar Bahasa Inggris sekaligus memperkenalkan semangat perdamaian, non kekerasan, dan non diskriminasi pada anak-anak. Anak-anak kampung Cepit Baru kini terbiasa berinteraksi bersama komunitas LGBT dan difable.
Eager Beaver sudah menjangkau secara langsung 250 orang, dengan jumlah anggota aktif 40 orang dengan rentang usia 18-30 tahun, dan 20 anak-anak berusia 3-15 tahun. Sumber dana dari kegiatan ini berasal dari program English Course yang dapat mendukung program lainnya. Dalam pelaksanaan kegiatannya, Eager Beaver didukung dan bekerja sama dengan Samsara, PLU Satu Hati, dan Peace Generation untuk pengembangan materinya.

Panji Aziz Pratama, 20 tahun (Bandung)
Sahaja (Sahabat Remaja) - Media Konsultasi Online Untuk Mengurangi Tingkat Depresi Remaja
Panji melihat kegalauan remaja yang dituangkan lewat sosial media (facebook, twitter dan lain-lain) begitu memprihatinkan dan tidak menyelesaikan masalah mereka. Kasus cyber bullying yang dialami remaja justru semakin banyak dan meningkatkan tingkat depresi remaja yang sedang galau tersebut.
Remaja membutuhkan tempat yang “tepat” untuk mencurahkan perasaan dan didengarkan masalah dan pendapat mereka. Panji kemudian membuat sebuah media  layanan konsultasi remaja yang dapat diakses secara online maupun tatap muka bernama SAHAJA (Sahabat Remaja). Di awal pembentukannya, Panji merekrut 2 orang teman lalu membawa ide ini kepada  dosennya.  Mereka kemudian mendapatkan kuliah tambahan di bidang konseling dari 3 orang dosen yang kompeten di bidang tersebut. Ketiga dosen ini juga akhirnya menjadi supervisor kegiatan SAHAJA
Sejak September lalu, SAHAJA memiliki klien 17 orang yang rata-rata berusia 13-18 tahun. Berdasarkan observasi, mereka adalah remaja yang mengalami depresi tingkat ringan – sedang. Sedangkan sebagian besar permasalahan yang dihadapi adalah kekerasan seksual, broken home, dan pendidikan. Setelah mendapatkan treatment dari tim Sahaja, sebanyak 80% tingkat depresi pada remaja klien tersebut turun dari tingkat sedang ke rendah bahkan bisa dikatakan membaik. Hal ini dapat dilihat dari perubahan sikap dan tingkat isolasi diri yang diukur dengan metode determining depresi level.
Dalam pengembangan kegiatan, Tim SAHAJA berkolaborasi dengan Jaringan Forum OSIS Provinsi Banten, Forum Anak Nasional (FAN), dan didukung oleh dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , Universitas Padjadjaran. Ke depan, SAHAJA memiliki rencana untuk mengembangkan program peningkatan kesehatan mental remaja sebagai upaya pencegahan kenakalan remaja.

M. Q. Rusydan, 24 tahun (Jakarta)
Peningkatan Kesadaran Remaja Untuk Mengurangi Resiko Tawuran dan Kasus Bullying di Sekolah Melalui Duta Damai Remaja
Kasus kekerasan remaja, terutama tawuran dan kasus bullying yang terjadi di sekolah, yang terjadi belakangan ini semakin meningkat bahkan tak jarang menelan korban jiwa. Kekerasan dan Bullying ini berdampak buruk bagi perkembangan psikologis remaja. Bersama dua temannya Qoqo mencetuskan kegiatan bernama Duta Damai Remaja untuk menyuarakan isu perdamaian untuk menghentikan kasus kekerasan dan bullying di sekolah.
Kegiatan yang berlangsung sejak Februari 2013 ini dimulai dengan roadshow ke sekolah di Jakarta dan Bogor. Mereka juga menyelenggarakan workshop Duta Damai Remaja yang didukung oleh Kementerian Pendidikan. Workshop TOT pertama ini diikuti oleh 40 orang yang berasal dari 20 sekolah di Jakarta dan Bogor. Para peserta ini  diajak untuk membuat aksi kegiatan di sekolah masing-masing yang mengangkat isu kekerasan dan perdamaian.
Workshop ini mengawali jaringan sekolah yang memberikan ruang bagi pelajar untuk bekerja sama, melakukan dialog antar sekolah, dengan harapan dapat mengurangi kasus premanisme dan tawuran antar sekolah. Kegiatan bersama yang telah dilakukan adalah pembuatan petisi damai yang melibatkan 20 sekolah tersebut. Setiap bulan Qoqo dan timnya, melakukan monitoring untuk mengetahui  perkembangan kegiatan yang dilakukan para duta damai tersebut di sekolah masing-masing.
Untuk mendukung pengembangan materi program dan riset, Qoqo bekerja sama dengan KNIU (Komisi Nasional Indonesia Untuk UNESCO) dan Yayasan Sejiwa. Materi yang dimaksud pencegahan kekerasan terutama kekerasaan seksual untuk mengurangi dampak psikologis yang ditimbulkan. Sementara untuk kegiatan kampanye publik ditujukan untuk memberikan informasi tentang bagaimana/apa yang sebaiknya dilakukan ketika terjadi tawuran.

Kanti Setyo Wilujeng, 21 tahun (Lampung)
Mainan Sebagai Media Untuk Mendukung Kegiatan Keterapisan Anak Berkebutuhan Khusus
Ajeng adalah terapis di sebuah klinik non-profit yang memberikan terapi gratis bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) yang kurang mampu. Dari sini Ajeng melihat kelengkapan media edukasi dalam bentuk mainan untuk mendukung kegiatan terapi masih sangat minim. Di sisi lain, anak-anak yang berasal dari keluarga menengah ke atas memiliki banyak mainan yang  masih layak pakai namun sudah tidak digunakan lagi. Padahal mainan-mainan tersebut memiliki potensi untuk mendukung kegiatan terapi pada ABK.
Dari sinilah Ajeng bersama 3 temannya menggagas „Toys Charity for Autism”. Sejak 6 bulan yang lalu mereka roadshow ke sekolah dasar dan kampus UNILA untuk mensosialisasikan kegiatan ini. Tujuannya selain menggalang donasi mainan, Ajeng juga ingin membangun empati anak-anak dan remaja melalui pemberian mainan dan kesempatan bertemu langsung  dengan anak-anak  berkebutuhan khusus. Konsep dasarnya dari anak-anak untuk anak-anak. Jumlah ABK yang ditangani saat ini berjumlah 10 anak yang bervariasi kebutuhannya (Autis, Syndrom Down, Cerebral Palsy).
Dengan media pembelajaran (mainan) yang variatif tersebut, para ABK menjadi semakin bersemangat dalam menjalani terapi sehingga perkembangan kemampuan mereka juga meningkat. Selain itu, dengan adanya kegiatan ini, empati anak-anak terhadap teman-temannya yang berkebutuhan khusus juga meningkat. Ke depan, kegiatan roadshow sekolah akan lebih dijalankan secara lebih intensif. Dalam menjalankan kegiatan ini, Ajeng berkolaborasi dengan Yayasan Cinta Harapan Indonesia (YCHI), ACI (Autism Care Indonesia), SNETS (Special Need Therapy Services) Lampung, dan beberapa komunitas di Lampung.

Download versi PDF disini

1 komentar: